Senin, 13 Mei 2013

Dakwah Islam Pada Masyarakat Multikultural: Kualifikasi Dai yang Bagaimana?

http://cafe.degromiest.nl/wp/archives/992
Diary Ramadhan - Edisi 15 Ramadhan 1432H

Setengah abad yang lalu amat mudah mendapatkan kota atau negeri yang homogen, dihuni oleh satu kelompok etnik, budaya atau agama tertentu. Tapi sekarang tidak lagi. Mobilitas penduduk yang bergerak sangat dinamis, didukung oleh perkembangan iptek yang luar biasa, telah menyebabkan struktur dan komposisi penduduk di berbagai daerah berubah cepat. Di mana-mana muncul masyarakat multikultural, masyarakat bhinneka dengan heterogenitas yang semakin tinggi, sehingga menuntut adanya saling pengertian dan saling menghargai agar bisa hidup bersama dalam satu masyarakat yang utuh.
Sikap dan pandangan hidup bagaimana yang diperlukan dalam suatu masyarakat multkultural telah melahirkan Multikulturalisme sebagai suatu faham yang dituntut oleh perkembangan masyarakat global yang plural. Faham ini berangkat atas dasar kesamaan martabat manusia (equal dignity of human rights), dimana dignity adalah salah satu prinsip hidup manusia. Dalam masyarakat multicultural setiap kelompok berhak mengembangkan diri sesuai dengan “jalan” jati diri atau karakteristik kelompoknya (HAR Tilaar, 2004). Faham ini tidak menganggap cukup dengan adanya Hukum dalam suatu demokrasi konstitusional, karena dalam masyarkat multicultural dibutuhkan adanya jaminan terhadap hak-hak kelompok minoritas untuk mengembangkan martabat atas dasar jati diri mereka. Jadi dibutuhkan adanya kesadaran kolektif yang mendorong munculnya kebudayaan politik yang ditandai oleh adanya penghormatan timbal-balik atas hak-hak manusia, sebab dengan demikianlah demokrasi konstitusional bisa menjamin hak-hak kelompok minoritas untuk duduk bersama dengan kebudayaan kelompok-kelompok lain, tanpa ada rasa takut akan kehilangan identitas atau “ditelan” oleh kelompok mayoritas yang dominan.
Apa relevansi multikulturalisme bagi kita sebagai muslim dan warga bangsa Indonesia? Pertama, berangkat dari realita kita sebagai bangsa yang penuh keragaman. De facto bangsa ini tersebar di 17.000 lebih pulau, terdiri dari puluhan etnik dengan bahasa, tradisi, dan agama yang tidak sama. De jure, kita sebenarnya telah mengadopsi semangat multikulturalisme sekalipun dengan aktualisasi yang masih gamang. Pancasila dan UUD 1945 telah mencoba merangkul semua unsur keragaman itu, sebagaimana teukir tegas pada simbol (Garuda) negara dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika. “Berbeda-beda tetapi tetap satu”, sungguh merupakan semboyan yang paling pas untuk merangkum prinsip-prinsip multikulturalisme. Sayang kita baru berkutat-katit pada slogan tetapi lemah dalam tindakan, sehingga multikulturalisme terasa asing atau bahkan dicurigai.
Kedua, pengalaman pada masa pemerintahan yang lalu bisa menjadi pelajaran berharga tentang perlunya sikap istiqomah pada semangat multikulturalisme, demi kelangsungan hidup bangsa yang memang bersifat multikultural. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang otoriter-sentralistik sejak lama telah “membongsai” kebhinnekaan daerah-daerah demi keTunggal Ikaan yang semu. Atas nama persatuan dan kesatuan ruang gerak keanekaragaman kultural yang terdapat di daerah-daerah dipersempit, sehingga menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi pemerintahan nagari di Minangkabau, pela gandong di Ambon, komunitas dalihan natolu di Tapanuli. Padahal keanekaragaman tradisi sosio-kultural seperti ini merupakan kekayaan kultural yang luar biasa, yang mengandung pranata-pranata sosial yang antara lain berfungsi sebagai defense mechanism untuk memelihara integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat (Azyumardi Azra, 2003). Maka pantas diduga jika kekerasan dan konflik bernuansa perbedaan etnik-agama yang marak sejak tahun 1996, tidak lepas dari kebijakan yang telah memandulkan local geniuses tersebut.

Ketiga, pengalaman pendek era Reformasi yang mendebarkan karena kebijakan desentralisasi kekuasaan pemerintah ke daerah-daerah cenderung memperlihatkan gejala “daerahisme” yang tampil tumpang tindih dengan etnisitas“sukuisme”. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali, mempunyai bobot ancaman yang lebih besar terhadap keutuhan bangsa dibandingkan dengan pengalaman yang salah dari pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Jika dulu kebhinnekaan yang terancam, sekarang bandul ancaman itu bergerak ke sisi keTunggal Ikaan. Sesungguhnya tidak ada yang salah dengan pengungkapan identitas etnik dan agama karena di dalamnya ada kebanggan karakter diri dan kemartabatan kultural yang diperlukan oleh tiap bangsa untuk maju dan kuat. Namun dalam suatu masyarakat yang multikultural, pengungkapan identitas yang sempit bisa menimbulkan antiklimaks yang mengancam kepentingan bersama (masyarakat).
Keempat adalah posisi umat Islam yang mayoritas, sehingga kelangsungan hidup bangsa ini tidak salah kalau disandarkan pada kearifan orang-orang muslim dalam menghargai keanekaragaman kultural tersebut. Apa yang seharusnya kita lakukan dari perspektif dakwah?
Harus disadari bahwa keragaman atau pluralitas kultural itu sudah merupakan suatu kenyataan yang umum, sejalan dengan arah perkembangan masyarakat dari berbagai dimensi. Persoalannya adalah bagaimana pluralitas itu disikapi dan dikonseptualisasikan tanpa harus menghadang laju perkembangan masyarakat. Al-Qur’an pun memastikan trend perkembangan ke arah masyarakat yang multikultural itu, sekaligus mengajarkan bagaimana manusia harus mensikapi keragaman tersebut sebagaimana tersurat pada Al-Hujarat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbagai bangsa dan kelompok agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah mereka yang paling takwa. Allah Maha Tahu dan Maha Teliti”.

Tuntunan normatif yang diberikan Islam terhadap keniscayaan gender dan pluralitas kultural adalah sesuatu yang positif, yaitu: (1). Masuk ke dalam pluralitas itu dengan pikiran terbuka, untuk mengenal dan dikenal (lita’arofuu), mengembangkan proses interaksi interpersonal dan sosial bil hikmah. (2) Taqwa menjadi modal pokok ketika berinteraksi dalam masyarakat multicultural, yaitu taqwa pada pengertiannya yang dasar yaitu “waqaa” atau menjaga diri, (3) Melakukan dua petunjuk itu secara teliti, dalam perspektif dakwah terhadap masyarakat multicultural yang kompleks, untuk memuliakan martabat (dignity) Islam.
Bagaimana tuntunan normatif ini dijabarkan, paling tepat kita lihat ulang bagaimana Nabi membangun masyarakat multikultural di Madinah 1400 tahun yang lalu. Heterogenitas kultural masyarakat kota Madinah dapat dilihat dari hasil cacah penduduk yang dilakukan atas perintah Nabi, berdasarkan hadits riwayat Bukori (Ali Bulac, 2001), di mana dari 10.000 jiwa penduduk Madinah kala itu kaum muslim adalah minoritas (15%). Mayoritas adalah orang musyrik Arab (45%) dan orang Yahudi (40%). Tingkat heterogenitas ini lebih tinggi lagi manakala dipaparkan bahwa masing-masing kelompok Muslim, Musyrik Arab, dan Yahudi itu di dalamnya terdiri dari berbagai kabilah atau sub-kelompok. Kaum muslim sendiri terdiri dari dua kelompok besar Muhajirin (migran) dan Anshor (non-migran), yang masing-masing terdiri dari berbagai suku atau kabilah yang punya tradisi bermusuhan karena kuatnya akar sukuisme dalam masyarakat Arab.
Dalam struktur masyarakat Arab yang tradisional, organisasi sosial sangat bergantung kepada ikatan darah dan kekerabatan. Tetapi di Madinah, untuk pertama kalinya (tahun 622 M) orang-orang yang berasal dari latar belakang suku, agama, dan asal geografis yang berbeda terhimpun bersama dan mengidentifikasi diri sebagai satu kelompok sosial tertentu. Pada Piagam Madinah yang berisi 47 pasal itu, disebutkan di pasal (1) “Muhammad, Nabi Allah, mewakili kaum Mukmin Quraisy dan Yastrib menyatakan bergabung dengan kelompok masyarakat lainnya, ikut berjuang bersama mereka. (2) Membentuk sebuah ummah yang lain daripada manusia-manusia sebelumnya “. (Ali Bulac, 2001). Sangat terasa adanya rasa percaya diri dan pengungkapan dignity dalam rumusan kalimat di kedua pasal tersebut, dan dengan modal itu Nabi serta sahabat-sahabatnya tampil sebagai pengambil inisiatif untuk berdakwah mengembangkan ummah yang multikultural di Madinah.
Jaidi sekalipun pada posisi minoritas, Nabi saw bersama sahabat-sahabatnyas bukan hanya aktif berinteraksi dengan warga kelompok mayoritas, tetapi bahkan mengambil inisiatif untuk membangun struktur masyarakat baru yang sesuai dengan sikon zaman. Tetapi harus dicatat, awal dari semua langkah inisiatif yang berani ini adalah dengan perhitungan atau siyasah yang terukur. Dimulai dengan suatu cacah penduduk, lalu melakukan konsolidasi internal untuk mengukuhkan soliditas kaum muslim yang terdiri dari berbagai kelompok-suku. Pasal 3 sampai 23 dari Piagam Madinah dapat difahami sebagai upaya konsolidasi internal, memperkuat sel-sel jaringan Ukhuwah Islamiyah sebagai persiapan untuk memenangkan “pertarungan” interaksi sosial antarkelompok dalam kompleksitas masyarakat yang multikultural. Ambil contoh dari pasal (17) “Perdamaian di antara Muslimin adalah satu. Tidak seseorang muslim pun boleh bersepakat untuk menyetujui perdamaian dengan mengenyahkan muslim lainnya”, dan pasal (23) “Bila terdapat perbedaan tentang sesuatu hal, hendaklah diserahkan kepada Allah dan Muhammad”. Kedua dictum ini sangat jelas tertuju pada maksud mempersatukan kaum Muslim yang memang berpotensi konflik karena karakter heterogenitasnya.
Jadi, belajar dari apa yang dicontohkan Nabi dan para sahabat di Madinah, salah satu persiapan untuk memasuki masyarakat global yang multikultural itu adalah kemampuan managerial untuk mempersatukan kaum muslim yang tidak homogen. Kaum muslim yang terbelah-belah sudah merupakan realitas sejarah, persoalannya adalah kepemimpinan siapa yang mampu mempersatukan untuk membawa mereka dengan percaya diri dan bermartabat ke kompleksitas masyarakat yang multikulutral, bukan hanya sebagai obyek tetapi sebagai inisiator yang mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam sebagai rahmat bagi semua kelompok masyarakat yang ada.
Berikutnya adalah membangun ukhuwah wathoniyah & bashariah di tengah pluralitas ummah yang ingin hidup bersama secara damai, dengan cara saling menjaga diri (taqwa). Tiap kelompok punya otonomi kultural sendiri, dan mereka berhak mengekspresikan diri sesuai dengan kriteria-kriteria hukum agama dan budayanya. Jaminan atas hak ini dalam Piagam Madina antara lain terlihat pada pasal (25) “Agama orang-orang Yahudi untuk mereka sendiri, agama kaum muslim untuk mereka sendiri. Hal ini termasuk mawla mereka dan diri (person) mereka sendiri”. Diktum ini yang sekarang disebut sebagai salah satu prinsip dalam Multikulturalisme, yaitu bisa menghargai orang lain seperti apa adanya - you are what you are, sebenarnya tak lebih dari upaya sosialisasi atas prinsip-prinsip kebebasan serta oengakuan atas adanya perbedaan agama seperti yang difirmankan Tuhan (S.al-Kafirun) sebelumnya pada periode makkiyah dengan kalimat lakum dienukum wa liyadien.
Bagaimana dengan tugas dakwah? Dakwah tetap berlangsung wajar di tengah-tengah pluralitas yang saling menghargai, untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran ilahiah terhadap warga masyarakat yang semakin kompleks. Dakwah dalam masyarakat yang multikultural berakentuasi pada proses interaksi antarkelompok yang ada, yaitu lewat perilaku-perilaku warga muslim yang menimbulkan proses saling mempengaruhi dengan warga dari kelompok lain. Tuntunan normatif yang diberikan al-Qur’an untuk tampil dengan sikap terbuka, percaya diri, dan menjaga dignity Islam, sebagaimana telah disebut di atas, dimaksudkan untuk efektivitas penularan norma-norma dan nilai Islam dalam proses interaksi antarkelompok tersebut. Sementara tuntunan tentang taqwa, sikap selalu menjaga diri, dimaksudkan untuk memupuk pengendalian diri terhadap potensi-potensi konflik yang lazim ada dalam proses interaksi antarkelompok. Dengan demikian setiap muslim diharapkan bisa tampil dengan perilaku interaksi yang berbobot dakwah bil haal, baik dalam hubungan-hubungan yang bersifat asosiatif maupun yang bersifat disasosiatif.
Fenomena global yang menumbuhkan masyarakat-masyarakat multikultural meyakinkan orang mukmin akan universalitas Islam, karena embrio pengembangan masyarakat multikultural tersebut telah didemonstrasikan Nabi pada periode Madina 1400 tahun yang lalu. Apa yang dituntunkan Nabi adalah: (1) Keberanian untuk memasuki masyarakat multikultural (ummah) secara terbuka, percaya diri, dan menjunjung tinggi martabat Islam (2) Konsolidasi internal dengan membangun ukhuwah Islamiyah. Berbeda pendapat (khilafiyah) sudah merupakan keniscayaan, maka adagium yang tepat adalah “bersatu dalam ushul, bertoleransi dalam furu’ “ (KHM Isa Anshary, 1984). (3) Interaksi sosial dengan kelompok-kelompok lain atas dasar saling menjaga diri dengan saling menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada. (4) Membangun ukuwah wathoniyah wa bashariyah antarkelompok etnik-agama yang ada.
Kualifikasi dai bagaimana yang dibutuhkan untuk bisa memenuhi empat tuntunan di atas, antara lain dapat disebut beberapa hal.
Pertama harus beriman dan ikhlas terhadap agama yang hendak didakwahkan, sebab keberanian, percaya diri, dan kesetiaan untuk menjaga martabat Islam hanya muncul dari iman serta sifat ikhlas tersebut. Perlu dibangun kesadaran baru tentang makna kewajiban dakwah sebagai tugas untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran ilahiah secara hikmah kepada semua orang. Keihlasan dalam dakwah membuat seorang dai bisa lebih berlapang dada. Soal orang masuk Islam haruslah dengan kesadaran diri dan dengan hidayah Allah. “ Tidak ada paksaan dalam beragama, sungguh sudah jelas beda antara hidayah dengan kesesatan” (Al-Baqarah, 256). Jadi tidak perlu ada perasaan berjasa dengan mengislamkan orang, sebab “ bahkan Allahlah yang berjasa ketika ia membimbing untuk beriman, jika kamu benar-benar beriman”(Al-Hujurat, 17).
Kedua bersifat adil, dalam arti hanya mendakwahkan apa yang sudah diamalkan (Al-Baqarah, 44), tidak menyembunyikan kebenaran Tuhan (Al Imran, 187) karena berbagai kepentingan, dan mendakwahkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Ketiga memiliki hikmah sehingga mampu berdakwah sesuai dengan sikon obyeknya. Dakwah untuk masyarakat kota yang mengalami rasionalisasi dan alienasi sudah tentu - dengan sifat hikmah - didekati dengan cara yang berbeda jika berhadapan dengan masyarakat desa yang stagnan. Dakwah dengan pendekatan esoteris atau estetis dapat dilakukan untuk masyarakat kota, sementara untuk masyarakat desa tersebut dakwah dilakukan dengan pendekatan etis. Penyajian materi dakwah pun tentu bilhikmati, yaitu ke masyarakat kota yang dinamik-plural dengan hidayah sentris sementara ke masyarakat desa yang stagnan dengan rasio sentris. Tetapi bagaimana hikmah bisa dimiliki seseorang (dai), Al-Ghazali mengajukan empat prasyarat: ‘ilmu, iffah, saja’ah, dan ‘adlu.
Keempat, berakhlaq karimah agar bisa tampil sebagai sosok teladan seperti yang dicontohkan dan menjadi kunci sukses dakwah Rasulullah Saw.
Nabi dan para sahabat tampil sebagai inisiator masyarakat multicultural di Madinah dalam posisi sebagai kelompok minoritas. Kaum muslim di Indonesia yang mayoritas (85%) mestinya bisa lebih berhasil dengan menjadikan jejak-jejak sejarah Nabi tersebut sebagai model dakwah dalam membangun masyarakat bangsa yang multikultural.
Wallahu a’lamu bisshowab.

Amanah

by : Wawan Dinawan

Banyak orang yang menginginkan sebuah jabatan, baik jabatan yang tinggi maupun jabatan yang rendah. Mereka sangat menginginkan amanah yang sesungguhnya amat berat. Dalam pemilihan Ketua Angkatan FEM kemarin saja, ada banyak orang yang menginginkan jabatan tersebut. Padahal, panitia hanya menginginkan dua puluh orang saja, namun pada kenyataannya lebih  dari empat puluh orang yang mencoba mendapatkannya. Hal yang sama terjadi pada pemilihan anggota legislatif kemarin. Banyak orang yang sangat menginginkan memangku jabatan sebagai anggota legislatif.
Sebenarnya, Apakah amanah itu? Mengapa banyak orang yang ingin mendapatkannya? Suatu hari, Umar ibn Khoththob mendapatkan sebuah jabatan, namun yang ia lakukan bukanlah bersenang hati. Ia malah mengucapkan istighfar. Ia merasa mendapat musibah.
Berkenaan dengan amanah, Syeikhul Islam ibn Taimiyyah pernah berkata melalui bukunya siyasah syariyyah, “sementara amanat erat kaitannya dengan rasa takut kepada Allah SWT dan tidak memperjualbelikan ayat-ayat-Nya dengan harga yang murah, serta menghindari takut terhadap sesama manusia.” Beliau mengutip firman Allah pada surah Al-Maidah ayat 44 dan memperkuatnya dengan sebuah hadits riwayat Ahli Sunan.
Begitu beratnya amanah, sampai-sampai ia dikaitkan dengan rasa takut kepada Allah dan manusia serta ancaman terhadap orang yang memperjualbelikan ayat Allah.
Namun, kita masih belum sadar dengan beratnya arti sebuah amanah. Kita banyak menginginkan sebuah amanah—walau para ulama memperselisihkan kebolehan meminta amanah. Bukan hanya itu, kita juga terkadang dengan mudah memberikan sebuah amanah kepada bawahan kita dengan sesukanya.
Seorang pemimpin yang baik, sebuah syuro yang baik, sebuah majelis permusyawarahan dan dewan yang baik akan memperhatikan kesanggupan orang yang diamanahkan akan sebuaah pekerjaan. Ia akan memperhitungkan dengan baik segala sesuatu yang berkaitan dengan amanah ini. Oleh karena itu, para ulama bersepakat dalam sebuah konsep mengenai amanah. Bahwa menerima dan menolak amanah adalah sebuah hak bebas yang dimiliki oleh orang yang diamanahkan. Jika yang diberi amanah menolak, maka amanah tersebut tidak jatuh kepadanya. Penolakan ini bukan berarti tidak taat dan tidak tsiqoh, namun—mudah-mudahan—ia telah mempertimbangkan kemampuan dirinya untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Sebab jika ia melalaikan amanah tersebut, ia berdosa kepada Allah SWT dan manusia jika amanah tersebut berhubungan dengan manusia yang lain. Dengan bahasa lain, harus terjadi hubungan timbal balik antara yang memberi amanah dan yang diberikan amanah dalam kesepakatannya menerima atau menolak amanah tersebut.
Sebuah hadits yang sangat keras berkaitan dengan amanah pernah di katakan oleh rasulullah SAW.
“apabila amanat itu dilenyapkan, maka tunggulah datangnya kiamat. Dikatakan kepada beliau, ‘wahai rasulullah, bagaimana melenyapkan amanah itu?’ Rasulullah SAW apabila perkara itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangya kiamat.
Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abu Hurairah.
Imam muslim meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi,
“tidak seorang pun pengembala yang diserahi Allah untuk menggembalakan sesuaitu itu meninggal, sementara dia menyeleweng dari mengurus yang menggembalakannya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya bau surga.”
Suatu hari Umar ibn Abdul Aziz ditegur oleh anaknya saat ia beristirahat sejenak selepas menguburkan jenazah ayahnya. Sang anak berkata, “yakinkah anda ayah akan hidup setelah istirahat padahal masih banyak urusan ummat yang belum diselesaikan. Kemudian Umar ibn Abdul Aziz tidak jadi mengistirahatkan dirinya.
Oleh karena penting dan beratnya nilai amanah itu ibn Taimiyyah memberi sebuah garis keras dalam memberikan sebuah amanah kepada seseorang.
  1. Mengangkat yang ashlah(yang paling layak)
  2. Memilih yang terbaik dan kemudian yang di bawahnya
  3. Karena sedikitnya orang yang memiliki otoritas dan amanah sekaligus, ibnu Taimiyyah mengtakan bahwa pemilihan harus dilakukan dengan prioritas dan proporsinalistas.(inilah yang sering kita lupakan. Saya akan bahas pada artikel lain dalam waktu dekat)
  4. Pada bab ini ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa memilih jika tujuan dan sarana penunjang telah terpenuhi dengan baik, maka semprnalah masalah itu. Artinya masalah telah terselesaikan.
Dalam Musnad Iman Ahmad, nabi SAW bersabda
Makhluk yang paling dicintai allah adalah imam yang adil, dan yang paling dibenci Allah adalah pemimpin yang dzalim.
Bagi saya, dzalim itu bukan hanya menindas dan mengambil hak orang lain. Saya lebih suka mendefinisikan dzalim dengan definisi menempatkan sesuatu kepada tempatnya. Bisa dikatakan bahwa dzalim dapat dikatakan tidak amanah.
Begitulah amanah, ia menjadi sesuatu yang sangat berat untuk diemban. Bahkan gunung pun tidak sanggup untuk mengembannya. Namun manusia mau mengembannya.
Pesan
  1. Kepada para qiyadah dan syuro, janganlah mudah mengamanahkan sesuatu kepada jundi kecuali dia memang mampu dan ahli dalam amanah tersebut.
  2. Kepada para jundi, janganlah mudah menerima amanah kecuali engkau sanggup melaaksanakannya.
  3. Bukalah ruang diskusi dalam serah terima (menerima atau menolak) amanah.
Wa Allahu a’lam

Pekerjaan Dengan Bayaran Tertinggi

Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Catatan Kepala: ”Gaji yang kita terima, belum tentu sesuai harapan. Sedangkan imbalan disisi Tuhan, pasti memuaskan.”
Slip gaji diklasifikasikan sebagai dokumen confidential. Anda tentu tidak ingin orang lain mengetahui angka-angka yang tertulis dalam kertas slip gaji Anda, bukan? Kepada suami atau istri, mungkin tidak keberatan untuk memperlihatkannya. Tetapi kepada orang lain? Tentu tidak. Anehnya, kadang kita tergoda oleh rasa ingin tahu terhadap angka-angka yang tertera dalam slip gaji orang lain. Memang, Anda tidak bakal membuang-buang waktu untuk mengintipnya, apalagi secara paksa meminta orang lain memperlihatkannya. Tapi, jika ada kesempatan untuk melihatnya boleh jadi kosa kata yang kita gunakan berbunyi ‘kenapa tidak?’. Lantas seandainya Anda ‘berhasil’ mengetahui slip gaji orang lain, apakah hal itu akan berdampak positif bagi Anda ataukah malah sebaliknya?
Ada sebuah kejadian menarik. Seorang manager secara tidak sengaja menemukan selembar kertas yang tergeletak dalam tray mesin foto copy kantornya. Untuk menggunakan mesin fotocopy itu dia harus memindahkan kertas ‘tak bertuan’ itu. Ketika meraihnya, dia menyadari jika kertas itu berisi data tentang gaji manager lain yang baru saja di hire dari perusahaan lain. Secara tidak sengaja pula, terlihatlah angkanya. Dibandingkan dengan gajinya sendiri, beda berkali-kali lipat. Sejak saat itu, dia tidak bisa melupakan bahwa ternyata gaji yang selama ini diterimanya berbeda jauh dari kolega barunya. Dibawah deraan ‘informasi’ yang mengejutkan itu, sang manager memiliki 2 pilihan; menghadap atasannya untuk meminta kenaikan gaji, atau memendam rasa kesal atas perbedaan gaji dengan orang baru yang belum tentu kerjanya bagus itu. Sang manager tidak mengambil kedua pilihan itu. Dia tetap mengingat kejomplangan itu, namun tidak membiarkannya berpengaruh buruk bagi perasaan dan perilakunya. Dia terus saja bekerja sebagaimana biasanya. Beberapa waktu kemudian, dia mendapatkan lebih banyak kepercayaan dan pendapatan hingga jauh melampaui angka orang lain yang pernah dilihatnya itu. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar menyelami kisahnya, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:
1. Bayaran adalah sebuah kepantasan. Bersediakah Anda bekerja tidak dibayar? Mungkin mau kalau pekerjaan itu dilakukan untuk lembaga amal dan sesekali saja. Tetapi, jika dilakukan untuk organisasi bisnis atau sudah menjadi rutinitas? Hmmh…, sebaiknya Anda mempertimbangkan jawaban itu kembali. Wajar, jika kita tidak mau bekerja tanpa dibayar. Karena memang tidak pantas jika seseorang sudah bekerja untuk kita tetapi tidak mendapatkan bayaran yang sewajarnya. Bayaran atas pekerjaan yang dilakukan seseorang berbeda dengan tips. Boleh saja jika kita tidak memberi tips kepada seorang pelayan restoran yang menjalankan tugasnya untuk menyajikan makanan. Tetapi, kepada pembantu rumah tangga yang menyediakan makanan itu; wajib hukumnya untuk membayar gajinya. Setiap orang berhak mendapatkan pembayaran sesuai dengan pekerjaan yang dilakukannya. Dan orang atau seseorang yang mewakili lembaga yang mempekerjakannya berkewajiban untuk melakukan pembayaran itu. Karena bayaran adalah sebuah kepantasan.
2. Bayaran tidak pernah sepadan. Berapa bayaran yang Anda terima dalam sebulan? Sekarang coba bandingkan antara besarnya bayaran itu dengan resiko yang Anda hadapi dalam menjalankan pekerjaan itu. Resiko disepenjang perjalanan dari rumah menuju ke kantor, atau sebaliknya. Resiko selama melakukan pekerjaan itu. Resiko dalam perjalanan dinas diatas pesawat terbang, ditempat asing, atau di proyek. Bagaimana dengan terkena serangan jantung di ruang kerja kita yang nyaman? Atau, resiko ‘kecil’ lainnya yang sering tidak kita sadari semisal; anak yang jarang bertemu ayah ibunya yang sibuk. Berapapun bayaran yang kita terima, tetap tidak pernah bisa sepadan dengan resiko yang dihadapi. Boleh dikata setiap pekerjaan memiliki resiko yang lebih besar daripada rupiahnya. Oleh karenanya, bekerja hanya dengan dorongan mendapatkan uang sungguh sangat dangkal. Kita perlu menambahkan ‘kejaran atau penghasilan’ lain dalam bekerja melampaui keingingan kita untuk mendapatkan uang. Misalnya, perasaan yang dihasilkan salah seorang sahabat saya ketika mampu membantu bawahannya menapaki karir yang bahkan lebih tinggi dari dirinya. Atau ketika berhasil membuat pelanggannya tersenyum. Bagi sahabat saya itu, bahagia yang dirasakan didalam hatinya melampaui jumlah rupiah yang diterimanya setiap bulan. Bagaimana dengan Anda?
3. Bayaran membatasi pemberdayaan diri. Bagi sahabat yang saya ceritakan itu, pembayaran yang diterimanya tidak membatasi dirinya untuk terus mendedikasikan seluruh kapasitas diri untuk pekerjaannya meski tahu dia dibayar lebih rendah dari kolega barunya. Sungguh sebuah kualitas yang langka. Kebanyakan orang terdemotivasi lalu mengurangi kualitas atau kegigihannya dalam bekerja. Hal itu dilakukan bahkan dalam keadaan ‘tidak tahu’ apakah orang lain dibayar berkali lipat lebih tinggi atau tidak. Kadang kita juga tergoda untuk bekerja asal-asalan hanya karena ‘merasa’ pantas dibayar lebih tinggi. Tidak salah dengan ‘perasaan’ seperti itu. Yang salah adalah cara kita mengekspresikannya. Mengurangi kualitas kerja sama sekali tidak bisa membawa kita kepada kemungkinan untuk mendapatkan bayaran yang kita anggap pantas. Sahabat saya tidak menukar kesediaannya dalam bekerja dengan besar kecilnya gaji yang didapatkannya. Dia tidak menjadikan gaji sebagai alat penakar terhadap ‘berapa banyak yang dia kontribusikan’. Dan jalur yang ditempuhnya terbukti ampuh mengantarnya meraih sesuatu yang diimpikan banyak orang. Disaat orang lain mengejarnya, dia malah dihampirinya. Mengapa bisa begitu? Karena kebanyakan orang menakar kinerjanya dengan gaji saat ini. Sedangkan dia terus memberdayakan diri tanpa memusingkan berapa bayaran yang sekarang diterimanya.
4. Menetapkan tarip bayaran tertinggi. “Mengapa elo tidak mengharapkan bayaran yang tertinggi?” begitu saya bertanya kepadanya. Pertanyaan itu dibalas oleh sebuah respon yang mengejutkan. “Lebih baik jika elo tanya; berapa tarip bayaranku,” katanya. “Baiklah,” kata saya. “Berapa berapa tarip bayaranmu?” Sebuah respon mengejutkan lain yang saya dapatkan. Sahabat saya mengatakan bahwa tarip bayarannya adalah sebuah angka yang tidak bisa dipenuhi oleh pemberi kerja manapun. Baginya itu bukanlah sebuah lelucon. Katanya; “makanya aku tidak pernah bekerja untuk siapapun selain untuk Dzat yang pasti sanggup memberiku bayaran dengan tarip tertinggi itu.” Hmmh, sekarang saya mengerti. Dia melangkahkan kaki dari rumahnya menuju ke tempat kerja dengan Bismillah diiringi tekad untuk melayani seseorang pada hari itu melalui pekerjaan yang dijalaninya. Tidak pernah ada keluh kesah singgah dihatinya. Bahkan dalam keadaan serba menyakitkan dan menyulitkan sekalipun. Dia yakin, semakin sulit pekerjaan yang dilaluinya hari itu; semakin tinggi tarip bayaran dari ‘sang pemberi pekerjaan’ itu. Begitulah caranya menetapkan tarip bayaran tertinggi. Dia menganggap apapun yang harus dilakukannya hari itu sebagai pekerjaan yang diberikan oleh Tuhan, untuk ditunaikannya. Maka, wajar jika tarip tertinggi yang ditetapkannya itu hanya bisa dibayar lunas oleh Sang Pemberi Kerja itu.
5. Syarat mendapat bayaran tertinggi. Saya penasaran, bagaimana caranya mendapatkan tarip tertinggi itu? Jangan-jangan syaratnya sangat sulit? Bukankah semakin tinggi angka yang kita minta tentunya akan semakin sulit juga untuk mendapatkannya? Seseorang mungkin harus menjadi direktur untuk mendapatkan bayaran puluhan atau ratusan juta. Bagaimana mungkin karyawan yang tidak menduduki posisi tinggi seperti kita ini bisa mendapatkan bayaran dengan tarip tertinggi itu? Jabatan kita, ternyata tidak menentukan kualitas kerja kita. Dan posisi kita, sama sekali tidak mewakili kontribusi kita. Oleh karenanya, bayaran dengan tarip tertinggi itu tidak ada kaitannya dengan jabatan. Tangan kita ini, adalah anugerah bernilai tinggi. Ketika anugerah tangan ini disyukuri dengan menggunakannya untuk melakukan pekerjaan yang disukai Tuhan, maka Tuhanpun membayarnya dengan tarip tertinggi. Begitu pula dengan mata, kaki, kepala dan sekujur tubuh kita. Seperti sahabat saya itu. Dia tabah saat dimarahi pelanggannya. Dia tetap tegar setelah diomeli habis-habisan oleh atasannya. Dia tenang saja waktu tahu dicurangi temannya. Dan dia juga begitu telatennya mengembangkan anak buahnya. Mengapa? Karena dia percaya jika setiap orang yang berkaitan dengan pekerjaannya adalah kiriman Tuhan. Sungguh, Tuhanlah yang menjadikan mereka sebagai sarana untuk memberinya pekerjaan pada hari itu. Maka melayani mereka, serasa melayani Tuhannya. Sesederhana itulah syaratnya.
Boleh saja jika kita berusaha mengejar bayaran tinggi atas pekerjaan yang kita lakukan. Menyebar CV atau mengejar posisi yang lebih tinggi lagi. Tetapi hendaknya janganlah kita melupakan bahwa ada pekerjaan-pekerjaan sederhana dengan tarip bayaran yang paling tinggi. Yaitu pekerjaan yang dikirim oleh Tuhan melalui kehadiran orang-orang disekitar kita. Mungkin mereka adalah pelanggan produk-produk kita. Mungkin juga atasan kita. Boleh jadi bawahan kita. Atau kolega. Bahkan boleh jadi, mereka adalah orang-orang yang tidak kita kenal, tidak pula kita pernah berjumpa. Marilah kita layani mereka dengan niat untuk melayani Dzat yang mengirimkan mereka kepada kita. Pasti kita akan dengan riang hati melakukannya. Maka apapun jenis profesi kita; kita bisa menjadikannya sebagai pekerjaan dengan bayaran tertinggi.
Mari Berbagi Semangat!
DEKA - Dadang Kadarusman – 11 November 2011
Catatan Kaki:
Pekerjaan dengan gaji tertinggi bukanlah profesi bergengsi yang menghasilkan banyak uang. Melainkan pekerjaan apapun yang memiliki nilai dimata Tuhan.

Berselisih Dengan Kolega – Siapa Yang Rugi?

Dikutip dari Milis Trainersclub, ditulis oleh Dadang Kadarusman.
Artikel’: Berselisih Dengan Kolega – Siapa Yang Rugi?
Hore, Hari Baru! Teman-teman.
Berbeda dengan anak-anak, kalau orang dewasa seperti kita berselisih biasanya bisa berkepanjangan. Apalagi kalau perselisihan itu terjadi dengan kolega di kantor. Urusannya bisa menjadi sangat rumit sekali. Penyebabnya bisa jadi cuma hal sepele semisal, soal ’gaya berbicara kolega yang tidak cocok dengan kita’. Sampai pada hal serius seperti persaingan mengejar jabatan, rebutan simpati atasan, atau karena...entah kenapa; pokoknya kita merasa tidak cocok saja dengan dia. Aneh kan? Sewaktu kita kecil dulu, sangat mudah untuk menyelesaikan perselisihan dengan teman. Setelah dewasa, manusia sering tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan titik temu untuk menghasilkan perdamaian. Kita merasa nothing to loose jika tidak akur dengan seseorang dikantor. Jadi, mengapa harus berdamai?
Ketika menjadi ketua RT, saya mempunyai 4 petugas kebersihan yang dibagi menjadi dua kelompok. Masing-masing melayani Blok A dan Blok B. Pasangan petugas di Blok A kompak dan berkomunikasi dengan lancar satu sama lain. Pasangan di Blok B sebaliknya. Kerjaannya berselisih melulu. Di Blok A, mereka saling bergantian antara menarik gerobak, memungut sampah, dan menyapu jalan. Mereka bekerja bahu membahu. Di blok B, masing-masing jalan sendiri dan tidak saling sapa. Yang satu menarik gerobak terus karena merasa dirinya lebih senior. Koleganya memasukkan sampah seenaknya karena merasa disepelekan. Walhasil, lingkungan di Blok A jauh lebih rapi dan tertata dibandingkan dengan Blok B. Kenyataan yang saya temui di lingkungan RT ini tidak jauh beda dengan situasi di kantor-kantor. Betapa banyak karyawan yang berselisih dengan koleganya. Mereka merasa baik-baik saja, padahal faktanya; kinerja mereka terpengaruh juga. Saya yakin, mereka tidak untung jika berselisih dengan kolega. Bahkan bisa jadi hidup mereka hanya dibebani oleh kekesalan dalam hati. Dan kita tahu bahwa tanpa kedamaian, seseorang bisa kehilangan kebahagiaan di tempat kerja. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar berdamai ditempat kerja, saya ajak memulainya dengan memahami 5 prinsip Natural Intelligence berikut ini:
1. Ingatlah tujuan utama kita bekerja. Sesekali, kita perlu menyegarkan kembali ingatan terhadap tujuan utama kita bekerja. Mencari nafkah? Boleh. Mencari kebahagiaan? Mungkin. Apapun itu. Yang pasti, saya yakin Anda memiliki tujuan yang positif saat mengambil keputusan untuk bekerja. Rasanya, tidak ada orang yang bekerja untuk mencari musuh. Atau pergi ke kantor untuk menemukan lawan yang sebanding saat bertengkar. Kita semua bekerja dengan tujuan mulia, bukan? Bahkan jika diniatkan untuk ibadah, bekerja bukan hanya sekedar akan menghasilkan uang, melainkan juga pahala yang melimpah. Makanya, aneh jika kemuliaan kepergian kita ke tempat kerja harus dinodai dengan perselisihan dengan kolega kerja kita. Apakah itu baru berupa rasa iri. Rasa ‘tidak cocok’. Parasaan ‘tidak nyambung’. Atau sinyal-sinyal negatif lainnya yang kita rasakan didalam hati berkaitan dengan hubungan kita dengan kolega. Sayang jika kesucian niat bekerja kita harus ternoda oleh hal-hal yang buruk seperti itu.
2. Perusahaan juga rugi loh. Ada orang yang merasa tidak merugikan perusahaan saat mereka berselisih dengan temannya. Persis seperti kedua petugas kebersihan itu. ‘Pokoknya kerjaan bereslah, Pak.“ Begitulah prinsip mereka. Faktanya, mereka sering saling tuding kalau ada sampah yang tercecer di jalanan. Stake holder saya, yaitu warga yang mengamanahkan tugas kepemimpinan RT merasa tidak dilayani dengan baik. Sama seperti orang kantoran yang mengira semua pekerjaan selesai meski saling berselisih. Faktanya, pelanggan mereka sering menjadi korban. Apakah pelanggan ekstenal, atau pun pelanggan internal. Misalnya, sering kejadian orang finance berselisih dengan orang sales sampai-sampai setiap invoice dari sales ditunda-tunda. Ada juga yang enggan menyokong temannya dengan data yang diperlukan karena merasa ada ganjalan dihatinya. Stake holder kita yaitu atasan, bawahan, pelanggan dan semua elemen terkait kinerja perusahaan tidak mendapatkan pelayanan yang optimal. Kedua petugas kebersihan itu mendapatkan ultimatum; perbaiki sikap, atau ada konsekuensi lain. Wajar jika kepada karyawan yang berselisih itupun perusahaan memberi ultimatum. Karena perselisihan karyawan sangat merugikan citra dan kinerja perusahaan. Dan tidak ada pilihan lain bagi setiap karyawan yang ingin dinilai baik oleh perusahaan selain rukun atau mengupayakan kerukunan dengan kolega-koleganya
3. Diri sendiri lebih rugi lagi. Dalam terminology kita ada istilah ‘trouble maker’. Siapapun kita, tentu tidak ingin berurusan dengan sang trouble maker itu. Bahkan, mereka boleh disingkirkan kok, meskipun tidak dalam pengertian fisik. Promosi? Seseorang yang diketahui sebagai trouble maker, sangat sulit dipromosi. Kalau pun ‘entah bagaimana caranya’ dia dipromosi, maka dia akan sulit untuk diterima oleh teamnya. Bagaimana jika Anda yang yang dicap sebagai sang trouble maker itu? Kan Anda sendiri yang rugi. Untuk menjadi trouble maker, Anda tidak usah membuat keributan. Cukup dengan menjadi pribadi yang menyebalkan bagi kolega Anda, deh. Apalagi jika berbuat jauh lebih buruk dari itu. Jauh lebih baik untuk menjadi pribadi yang menyenangkan di tempat kerja. Yaitu pribadi yang bersedia untuk memberikan rasa nyaman bagi ‘siapapun’ yang berurusan dengan Anda. Makna kata ‘siapapun’ itu mengandung arti tidak membeda-bedakan jabatan orang yang Anda layani. Atasan, bawahan, kolega. Semuanya Anda perlakukan dengan penuh hormat dan kebaikan yang sama menyenangkannya. Dengan sikap seperti itu, Anda bukan sekedar mendapatkan simpati dari mereka. Anda juga bisa menunjukkan bahwa pribadi Anda memang layak untuk mendapatkan perlakuan yang terhormat pula. Dan Anda, adalah orang yang paling beruntung karenanya.
4. Mengalah jauh lebih baik. Perdamaian itu tidak bisa dibangun oleh satu pihak. Harus oleh kedua-duanya. Jika kita sungguh-sungguh menginginkan perdamaian, maka kita harus menjadi pihak pertama yang mengusahakannya. Tidak mungkin bisa berdamai jika kita tidak ingin berdamai, bukan? So first, kita yang harus memulainya. Tapi, bagaimana seandainya kolega kita tidak menyambut ajakan damai kita? Sama seperti perdamaian, perselisihan juga tidak bisa dilakukan sendirian. Jika mereka ingin berselisih tapi kita terus konsisten untuk berdamai, maka tidak akan terjadi perselisihan. Lho, bagaimana bisa berdamai dengan orang yang ngotot ingin berselisih? Bisa. Caranya, mengalah saja. Seseorang yang memang gemar berselisih tidak bisa menyembunyikan sifat buruknya sehingga orang lain pun tahu jika memang dia begitu. Jika Anda ikut terlarut dengan gaya permainannya, maka Anda akan mirip seperti dirinya. Tetapi jika Anda bisa menjaga diri untuk terhindar dari permainan buruknya, maka orang lain juga tahu jika Anda tidak seperti dia. Itu artinya Anda ‘waras’. Sudahlah sing waras ngalah, kan begitu nasihat yang kita terima. Kita memang patut menjadi duta perdamaian di tempat kerja kita. Tetapi jika orang lain tidak bisa diajak berdamai, ya sudah mengalah saja. Agar kita bisa tetap menjaga kebaikan nilai pribadi kita.
5. Memaafkan seperti kita ingin dimaafkan. Mungkin memang Anda kesal kepada seseorang. Apapun alasannya. Itu valid bagi Anda. Saya tidak akan menghakimi Anda dengan menimpakan semua itu sebagai salah Anda sendiri. Anda berhak menilai kualitas hubungan dengan orang lain di tempat kerja. Dan wajar, jika Anda kurang nyaman dengan sikap dan perlakukan beberapa orang diantara mereka. Tetapi, percayalah; kekesalan Anda hanya akan menambah ‘beban’ di hati Anda saja. Jika orang itu sengaja melakukannya, maka itu bisa menjadi poin kemenangan baginya. Tapi jika dia tidak sengaja? Malah Anda yang menumpuk dosa. Maka maafkanlah kolega Anda jika dia melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan hati Anda. Apakah dia sengaja melakukannya, atau tidak. Dengan memaafkan itu, hati Anda akan semakin damai. Dan ingat pula, boleh jadi bukan hanya mereka yang menyakiti hati Anda. Mungkin kata-kata dan perilaku Anda yang justru menyakiti mereka. Apakah Anda tidak bermaksud demikian? Maka Anda butuh dimaafkan oleh mereka. Banyak loh, kesalahan yang terjadi secara tidak disengaja. Baik yang dilakukan oleh orang lain pada kita, maupun sebaliknya. Apa lagi yang bisa menyembuhkan luka-luka yang ditimbulkannya selain saling memaafkan? Makanya, maafkanlah teman Anda seperti halnya Anda ingin dimaafkan oleh mereka. Bukankah Tuhan pun Maha Memaafkan?
Kantor adalah tempat dimana kita menghabiskan waktu harian paling banyak. Dan kantor adalah tempat dimana kita menggantungkan beribu harapan. Maka pantaslah jika kita semua berusaha untuk menjadikan kantor sebagai tempat yang menyenangkan. Khususnya dalam hal hubungan dengan kolega kita. Hubungan antar manusia itu tidak luput dari selisih dan beda pendapat. Meskipun sudah berusaha untuk sama, kita ini tetap saja memiliki perbedaan. Itu bukan pertanda buruk, melainkan anugerah melalui keunikan. Kita bisa menjadikan anugerah itu sebagai berkah jika sama-sama memposisikan diri di tempat yang positif sambil menggunakan sudut pandang yang juga positif. Apa lagi dengan kolega di kantor kita. Karena mereka, adalah orang-orang yang paling sering dan paling lama berinteraksi dengan kita. Kita baikan yuk….:)

Jangan Bersedih Karena Gangguan Orang Lain, dan Maafkanlah Orang yang Berbuat Jahat Kepada Anda!

Harga hukuman (qisash) yang paling mahal adalah yang harus dibayarkan oleh seorang pendendam dan pendengki saat ia mendengki orang lain. Pasalnya, ia harus membayar semua itu dengan hati, daging, darah, perasaan, kedamaian, ketenteraman, dan kebahagiaannya. Maka, betapa meruginya seorang pendengki.
Allah telah mengabarkan kita tentang obat dan penyembuhan dari penyakit ini,
(Dan, orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang) (QS. Ali 'Imran: 134)
(Jadilah kamu pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh) (QS. Al-A'raf:199)
(Tolaklah (kejahatan) itu dengan cara yang lebih baik, dan tiba-tiba orang yang antara kamu dan dia ada permusuhan, seolah-olah dia telah menjadi teman yang amat setia) (QS.'Fushshilat: 34)

Jangan Bersedih Menghadapi Kritikan dan Hinaan!

Sesungguhnya, Anda akan mendapatkan pahala dikarenakan kesabaran Anda menghadapi kritikan dan cercaan itu. Dan kritikan mereka itu, pada dasarnya pertanda Anda memiliki harga dan derajat. Sebab manusia tidak akan pernah menendang bangkai anjing dan orang-orang yang tak berharga pastilah tidak akan pernah terkena sasaran pendengki. Atinya, manakala kritikan yang Anda terima semakin pedas, maka semakin tinggi pula harga Anda.
Seorang penyair mengatakan,
Niscaya terhadap orang-orang mulia itu selalu ada yang mendengki dan tak kan kau jumpai orang-orang yang hina itu di dengki
Zuher mengatakan,
Mereka selalu didengki karena nikmat yang mereka miliki, padahal Allah tidak mencabut apa yang mereka dengkikan itu
Seorang penyair yang lain berkata,
Mereka tetap dengki padaku meski aku telah mati, sungguh aneh diriku; kematianku pun mereka dengkikan
Penyair yang lain berkata,
Aku mengeluh karena kezaliman pemfitnah, dan tidaklah engkau dapatkan manusia yang punya kemuliaan melainkan akan selalu diterpa kedengkian.
Bila engkau manusia yang mulia, maka engkau kan selalu didengki. Namun kala kau miskin tak berharga, mana mungkin ada yang mendengki.
Penyair lain berkata,
Jika seorang berhasil menggapai puncak langit kemuliaan maka musuhnya adalah bintang-bintang di langit kedengkian. Ia akan dilempar dengan busur-busur atas semua kebesarannya meski apa yang mereka lakukan tidak akan sampai sasaran.
Syahdan, ketika Nabi Musa a.s. memohon kepada Allah agar Dia menghentikan kejahatan mulut kaumnya, Allah berfirman, “Wahai Musa, Aku tidak lakukan itu untuk diri-Ku. Aku menciptakan dan memberi mereka rezeki, namun mereka justru mencela dan mengejek-Ku”
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, “Allah berfirman: “Anak Adam mencerca dan menghina-Ku padahal tidak seharusnya ini ia lakukan. Adapun cercaannya kepada-Ku adalah bahwa dia mencerca zaman, padahal Akulah zaman. Aku bolak-balikan malam dan siang sekehendak-Ku. Sedangkan hinaannya pada-Ku adalah ia mengatakan bahwa Aku memiliki sahabat wanita dan anak, padahal aku tidak memiliki sahabat wanita dan anak.”
Anda tidak akan pernah dapat membungkam mulut manusia untuk tidak melakukan pelecehan terhadap kehormatan anda. Meski demikian anda dapat melakukan kebaikan dan menghindari perkataan dan kritikan mereka
Seorang penyair berkata,
Aku berjumpa dengan orang bodoh yang mencelaku,
Kutinggalkan ia seraya berkata, “aku tdak peduli”
Penyair yang lain berkata,
Jika orang bodoh berbiccara, jangan kau timpali
Sebab sebaik-baiknya jawaban baginya adalah diam seribu bahasa
Meski demikian, tak ada salahnya bila orang-orang bodoh itu sesekali dilawan dan ditantang. Atau katakan saja pada mereka,
Jika kebaikan yang tampak pada perbuatanku adalah dosa-dosa
maka katakanlah kepadaku, bagaimana aku harus meminta maaf
Pada umumnya, orang-orang yang kaya senantiasa dibayangi kegelisahan. Bahkan, ketika harga saham mereka tiba-tiba naikpun, mereka akan tetap gelisah karena cemas dengan nasib saham mereka yang mungkin saja besok akan menurun.
Allah berfirman,
Kecelakanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia akan dilempar ke neraka Huthamah>
(QS. Al-Humazah: 1-4)
Seorang sastrawan Barat mengatakan, “Lakukan apa yang kau pandang benar, dan palingkan punggungmu dari semua kritikan yang tdak berharga.”
Ada beberapa hal yang perlu anda renungkan dan anda coba:
Jangan pernah membalasa cercaan atau olok-olok yang melukai hati anda! Karena, kesabaranmu dalam menghadapi semua itulah yang akan dengan sendirinya menguburkan semua kehinaan. Kesabaran adalah sumber kemuliaan, diam adalah sumber kekuatan untuk mengalahkan musuh, dan memaafkan adalah sumber dan tangga untuk mencapai pahala dan kemuliaan.
Ingat, separoh dari orang yang pernah mencerca atau mengkritik anda itu akan melupakan cercaan merekea, sepertinyanya tidak sadar dengan apa yang mereka lontarkan, dan selebihnya tidak mengerti apa dan mengapa mereka mencerca anda. Maka dari itu, jangan pernah cercaan mereka kau masukkan hati dan jangan pula berusaha untuk membalas apa yang mereka katakan itu.
Seorang bijak bestari berkata, “ Orang-orang akan sibuk menggunjingiku manakala jatah roti mereka berkurang dari jatahku. Dan jika tak ada seorangpun dari mereka yang kehausan, maka mereka tak akan pernah mengusik kematianku dan kematianmu.”
Rumah senantiasa tenteram meskipun hanya ada sepotong roti di dalamnya, adalah lebih baik dari sebuah rumah yang penuh dengan makanan lezat tetapi tak pernah lekang dari kegaduhan dan sumpah serapah.

Jejak Sepatu di Karpet


Ada seorang ibu rumah tangga yang memiliki 4 anak laki-laki. Urusan belanja, cucian, makan, kebersihan & kerapihan rumah dapat ditanganinya dengan baik. Rumah tampak selalu rapih dan bersih dan teratur, suami serta anak2nya sangat menghargai pengabdiannya itu. Cuma ada satu masalah, ibu yg pembersih ini sangat tidak suka kalau karpet di rumahnya kotor.
Ia bisa meledak dan marah berkepanjangan hanya gara-gara melihat jejak sepatu di atas karpet, dan suasana tidak enak akan berlangsung seharian. Padahal, dengan 4 anak laki-laki di rumah, hal ini mudah sekali terjadi dan menyiksanya.
Atas saran keluarganya, ia pergi menemui seorang psikolog bernama Virginia Satir dan menceritakan masalahnya. Setelah mendengarkan cerita sang ibu dengan penuh perhatian, Virginia Satir tersenyum & berkata kepada sang ibu:
‘Ibu harap tutup mata ibu dan bayangkan apa yang akan saya katakan’
Ibu itu kemudian menutup matanya.
‘Bayangkan rumah ibu yang rapih dan karpet ibu yang bersih mengembang, tak ternoda, tanpa kotoran, tanpa jejak sepatu, bagaimana perasaan ibu?’ Sambil tetap menutup mata, senyum ibu itu merekah, mukanya yg murung berubah cerah. Ia tampak senang dengan bayangan yang dilihatnya.
Virginia Satir melanjutkan; ‘Itu artinya tidak ada seorangpun di rumah ibu. Tak ada suami, tak ada anak-anak, tak terdengar gurau canda dan tawa ceria mereka. Rumah ibu sepi dan kosong tanpa orang-orang yang ibu kasihi’.
Seketika muka ibu itu berubah keruh, senyumnya langsung menghilang, nafasnya mengandung isak. Perasaannya terguncang. Pikirannya langsung cemas membayangkan apa yang tengah terjadi pada suami dan anak-anaknya.
‘Sekarang lihat kembali karpet itu, ibu meli hat jejak sepatu & kotoran disana, artinya suami dan anak-anak ibu ada di rumah, orang-orang yang ibu cintai ada bersama ibu dan kehadiran mereka menghangatkan hati ibu’.
Ibu itu mulai tersenyum kembali, ia merasa nyaman dengan visualisasi tsb.
‘Sekarang bukalah mata ibu’ Ibu itu membuka matanya ‘Bagaimana, apakah karpet kotor masih menjadi masalah buat ibu?’ Ibu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. ‘Aku tahu maksud anda’ ujar sang ibu, ‘Jika kita melihat dengan sudut yang tepat, maka hal yang tampak negatif dapat dilihat secara positif’.
Sejak saat itu, sang ibu tak pernah lagi mengeluh soal karpetnya yang kotor, karena setiap melihat jejak sepatu disana, ia tahu, keluarga yg dikasihinya ada di rumah.
Kisah di atas adalah kisah nyata. Virginia Satir adalah seorang psikolog terkenal yang mengilhami Richard Binder & John Adler untuk menciptakan NLP (Neurolinguistic Programming) . Teknik yang dipakainya di atas disebut Reframing, yaitu bagaimana kita ‘membingkai ulang’ sudut pandang kita sehingga sesuatu yg tadinya negatif dapat menjadi positif, salah satu caranya dengan mengubah sudut pandangnya.
Terlampir beberapa contoh pengubahan sudut pandang :
Saya BERSYUKUR;
  1. Untuk istri yang mengatakan malam ini kita hanya makan mie instan, karena itu artinya ia bersamaku bukan dengan orang lain

  2. Untuk suami yang hanya duduk malas di sofa menonton TV, karena itu artinya ia berada di rumah dan bukan di bar, kafe.

  3. Untuk anak-anak yang ribut mengeluh tentang banyak hal, karena itu artinya mereka di rumah dan tidak jadi anak jalanan
  4. Untuk Tagihan Pajak yang cukup besar, karena itu artinya saya bekerja dan digaji tinggi
  5. Untuk sampah dan kotoran bekas pesta yang harus saya bersihkan, karena itu artinya keluarga kami dikelilingi banyak teman
  6. Untuk pakaian yang mulai kesempitan, karena itu artinya saya cukup makan
  7. Untuk rasa lelah, capai dan penat di penghujung hari, karena itu artinya saya masih mampu bekerja keras
  8. Untuk semua kritik yang saya dengar tentang pemerintah, karena itu artinya masih ada kebebasan berpendapat
  9. Untuk bunyi alarm keras jam 5 pagi yg membangunkan saya, karena itu artinya saya masih bisa terbangun, masih hidup
  10. Untuk setiap permasalahan hidup yang saya hadapi, karena itu artinya Tuhan sedang membentuk dan menempa saya untuk menjadi lebih baik lagi
    Untuk milis ini saya tambahi :
  11. Untuk orang yang jengkel setelah membaca posting saya dan komentar-komentar kerasnya, karena itu artinya mereka membaca apa yang saya tulis dan perduli dengan apa yang saya tuliskan.
Semoga bermanfaat. Terima Kasih.