Senin, 13 Mei 2013

Amanah

by : Wawan Dinawan

Banyak orang yang menginginkan sebuah jabatan, baik jabatan yang tinggi maupun jabatan yang rendah. Mereka sangat menginginkan amanah yang sesungguhnya amat berat. Dalam pemilihan Ketua Angkatan FEM kemarin saja, ada banyak orang yang menginginkan jabatan tersebut. Padahal, panitia hanya menginginkan dua puluh orang saja, namun pada kenyataannya lebih  dari empat puluh orang yang mencoba mendapatkannya. Hal yang sama terjadi pada pemilihan anggota legislatif kemarin. Banyak orang yang sangat menginginkan memangku jabatan sebagai anggota legislatif.
Sebenarnya, Apakah amanah itu? Mengapa banyak orang yang ingin mendapatkannya? Suatu hari, Umar ibn Khoththob mendapatkan sebuah jabatan, namun yang ia lakukan bukanlah bersenang hati. Ia malah mengucapkan istighfar. Ia merasa mendapat musibah.
Berkenaan dengan amanah, Syeikhul Islam ibn Taimiyyah pernah berkata melalui bukunya siyasah syariyyah, “sementara amanat erat kaitannya dengan rasa takut kepada Allah SWT dan tidak memperjualbelikan ayat-ayat-Nya dengan harga yang murah, serta menghindari takut terhadap sesama manusia.” Beliau mengutip firman Allah pada surah Al-Maidah ayat 44 dan memperkuatnya dengan sebuah hadits riwayat Ahli Sunan.
Begitu beratnya amanah, sampai-sampai ia dikaitkan dengan rasa takut kepada Allah dan manusia serta ancaman terhadap orang yang memperjualbelikan ayat Allah.
Namun, kita masih belum sadar dengan beratnya arti sebuah amanah. Kita banyak menginginkan sebuah amanah—walau para ulama memperselisihkan kebolehan meminta amanah. Bukan hanya itu, kita juga terkadang dengan mudah memberikan sebuah amanah kepada bawahan kita dengan sesukanya.
Seorang pemimpin yang baik, sebuah syuro yang baik, sebuah majelis permusyawarahan dan dewan yang baik akan memperhatikan kesanggupan orang yang diamanahkan akan sebuaah pekerjaan. Ia akan memperhitungkan dengan baik segala sesuatu yang berkaitan dengan amanah ini. Oleh karena itu, para ulama bersepakat dalam sebuah konsep mengenai amanah. Bahwa menerima dan menolak amanah adalah sebuah hak bebas yang dimiliki oleh orang yang diamanahkan. Jika yang diberi amanah menolak, maka amanah tersebut tidak jatuh kepadanya. Penolakan ini bukan berarti tidak taat dan tidak tsiqoh, namun—mudah-mudahan—ia telah mempertimbangkan kemampuan dirinya untuk melaksanakan amanah yang diberikan. Sebab jika ia melalaikan amanah tersebut, ia berdosa kepada Allah SWT dan manusia jika amanah tersebut berhubungan dengan manusia yang lain. Dengan bahasa lain, harus terjadi hubungan timbal balik antara yang memberi amanah dan yang diberikan amanah dalam kesepakatannya menerima atau menolak amanah tersebut.
Sebuah hadits yang sangat keras berkaitan dengan amanah pernah di katakan oleh rasulullah SAW.
“apabila amanat itu dilenyapkan, maka tunggulah datangnya kiamat. Dikatakan kepada beliau, ‘wahai rasulullah, bagaimana melenyapkan amanah itu?’ Rasulullah SAW apabila perkara itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangya kiamat.
Hadits diatas diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Abu Hurairah.
Imam muslim meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi,
“tidak seorang pun pengembala yang diserahi Allah untuk menggembalakan sesuaitu itu meninggal, sementara dia menyeleweng dari mengurus yang menggembalakannya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya bau surga.”
Suatu hari Umar ibn Abdul Aziz ditegur oleh anaknya saat ia beristirahat sejenak selepas menguburkan jenazah ayahnya. Sang anak berkata, “yakinkah anda ayah akan hidup setelah istirahat padahal masih banyak urusan ummat yang belum diselesaikan. Kemudian Umar ibn Abdul Aziz tidak jadi mengistirahatkan dirinya.
Oleh karena penting dan beratnya nilai amanah itu ibn Taimiyyah memberi sebuah garis keras dalam memberikan sebuah amanah kepada seseorang.
  1. Mengangkat yang ashlah(yang paling layak)
  2. Memilih yang terbaik dan kemudian yang di bawahnya
  3. Karena sedikitnya orang yang memiliki otoritas dan amanah sekaligus, ibnu Taimiyyah mengtakan bahwa pemilihan harus dilakukan dengan prioritas dan proporsinalistas.(inilah yang sering kita lupakan. Saya akan bahas pada artikel lain dalam waktu dekat)
  4. Pada bab ini ibn Taimiyyah menjelaskan bahwa memilih jika tujuan dan sarana penunjang telah terpenuhi dengan baik, maka semprnalah masalah itu. Artinya masalah telah terselesaikan.
Dalam Musnad Iman Ahmad, nabi SAW bersabda
Makhluk yang paling dicintai allah adalah imam yang adil, dan yang paling dibenci Allah adalah pemimpin yang dzalim.
Bagi saya, dzalim itu bukan hanya menindas dan mengambil hak orang lain. Saya lebih suka mendefinisikan dzalim dengan definisi menempatkan sesuatu kepada tempatnya. Bisa dikatakan bahwa dzalim dapat dikatakan tidak amanah.
Begitulah amanah, ia menjadi sesuatu yang sangat berat untuk diemban. Bahkan gunung pun tidak sanggup untuk mengembannya. Namun manusia mau mengembannya.
Pesan
  1. Kepada para qiyadah dan syuro, janganlah mudah mengamanahkan sesuatu kepada jundi kecuali dia memang mampu dan ahli dalam amanah tersebut.
  2. Kepada para jundi, janganlah mudah menerima amanah kecuali engkau sanggup melaaksanakannya.
  3. Bukalah ruang diskusi dalam serah terima (menerima atau menolak) amanah.
Wa Allahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar