Senin, 13 Mei 2013

Mengapa Kita Kemudian “Terpaksa” (atau “Dipaksa”) Menjiplak Ketika Harus Membuat Karya Tulis Ilmiah?

Oleh : Hernowo

Saya tidak ingin mengatakan bahwa semua orang yang ingin membuat karya tulis ilmiah (KTI) lantas menjiplak karya tulis milik orang lain. Judul itu saya buat gara-gara seorang guru bertanya kepada saya tentang betapa sulitnya membuat karya tulis ilmiah. Guru itu akhirnya kelelahan karena harus membuat KTI untuk mempertahankan gengsi dan reputasi. Akhirnya dia menyerah dan menjiplak KTI milik orang lain.

Saya pikir guru yang memiliki pengalaman yang sama seperti di atas tidaklah sendirian. Saya dan juga rekan-rekan guru yang lain tentu pernah merasakan betapa menulis KTI itu bagaikan beban yang tak tertanggungkan. Ingin saya tegaskan di sini, kegiatan menulis itu sendiri tanpa diembel-embeli KTI sebenarnya sudah sangat berat. Apalagi menulis sesuatu yang harus dapat dipertanggungjawabk an, harus memiliki referensi yang kuat, dan harus memenuhi persyaratan ilmiah.

Si guru yang kelelahan membuat KTI dan akhirnya menjiplak itu akhirnya saya ajak untuk merasakan kegiatan menulis yang dipisahkan dari embel-embel KTI. Saya bertanya kepadanya, “apa itu menulis dan bagaimana Anda menjalankan kegiatan menulis?”

Sejenak dia bingung karena mungkin belum pernah mendapat pertanyaan seperti itu. Saya pun menebak apa yang ada di dalam pikirannya. Ada kemungkinan yang berlalu-lalang di kepalanya terkait dengan membuat KTI, adalah segala macam aturan yang harus dia perhatikan -termasuk aturan kebahasaan- sebelum dia memulai menulis. Sementara dia sibuk dengan pelbagai aturan, dia pun lupa akan hakikat menulis.

Saya akhirnya memberitahu bahwa menulis itu sejenis keterampilan berpikir. Kata “keterampilan”sengaja saya berikan tekanan. Hampir persis dengan menari, memasak, menyetir mobil, berenang dan lain-lain. Agar kita dapat menulis dengan lancar dan nyaman kita perlu berlatih. Semakin sering kita berlatih menulis, semakin lancar dan nyaman kita menulis. Jelas, segala macam aturan yang mengarahkan kita untuk dapat menulis dengan bagus dan sesuai dengan kaidah yang dipersyaratkan sangatlah penting. Namun apabila kita tidak berlatih, kita tetap tidak dapat menulis dengan lancar dan nyaman, meskipun kita sudah “ngelothok” memahami segala macam aturan menulis.

Nah, sudah dapat dipastikan si guru itu akan mengalami kesulitan menulis apabila dia tidak membiasakan diri berlatih menulis. Kesulitan menulis itu akan bertambah menggunung apabila dia tidak memiliki kekayaan kata. Kok bisa?

Ini terkait dengan “berpikir”. Berpikir -terkait dengan menulis- adalah mengungkapkan sesuatu baik konkret maupun abstrak dengan bantuan kata-kata. Menulis sebagai sebuah keterampilan berpikir berarti mengomunikasikan sesuatu kepada orang lain dengan bantuan kata-kata. Apabila di dalam diri si guru itu miskin kata-kata, dia akan tersiksa ketika ingin mengomunikasikan pikirannya.

Bagaimana agar si guru itu kaya akan kata-kata?

Jawabannya hanya ada satu... Membaca!

Bagaimana agar si guru terdorong untuk dapat berlatih menulis secara kontinu dan konsisten dan mendapatkan manfaat langsung?

Menulislah secara subjektif!

Bagaimana agar si guru itu dapat berlatih menulis dengan senang sekaligus memiliki kosa kata yang sangat kaya dan bervariasi?

Praktekanlah “mengikat makna” !

Dan di atas semuanya -pentingnya membaca, kemauan untuk berlatih menulis, dan mempraktekan “mengikat makna”- masih ada satu hal lagi yang sangat layak untuk diperhatikan agar kita tidak “dipaksa” atau “terpaksa” menjiplak. Apa itu?

Yaitu apakah kita memiliki ide atau tidak ketika berniat menulis KTI. Jika kita tak memiliki “ide” meskipun kita sudah banyak membaca, gigih berlatih menulis, dan rajin “mengikat makna”, ada kemungkinan kita akan menulis KTI dengan hampa (kosong melompong). Idelah yang membuat tulisan kita menjadi “berisi” atau bermakna.

Bagaimana agar kita dapat memiliki ide?

“Dengarlah bisikan Tuhan!”, ujar Hank Zeller.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar