Senin, 13 Mei 2013

Daddy, Are You Sure that Allah will give us a big house?

Oleh: R. Fatoni

Weekend adalah hari untuk keluarga.
Sebaik baik kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya, kata Rasulullah saw.

"Come on kids! Let's go to walmart." kataku
"Daddy, can I have a doll?" kata Mutia
"Daddy, I want a glittering package" kata Fiya
"Let me see what I want after i get there" kata Yahya.
"I want new dress" kata Hana yang mulai menginjak remaja.

"Sure. You can have everything you want." jawabku mantap.

Aku melihat keceriaan terpancar dari wajah wajah mereka. Seolah tak percaya ayah mereka begitu royal kepada anak anaknya hari itu. Aku tahu. Belum pernah aku dengan begitu mantap mengucapkan kata kata itu. Aku tahu. Keceriaan itu adalah cermin hati yang memantulkan kasih sayang yang aku curahkan dari jiwaku untuk mereka. Kasih sayang yang Allah berikan kepadaku melalui cahaya iman yang menerangi jiwaku. Menerangi akal dan hatiku.

Selama ini aku begitu pelit kepada mereka. Setiap kali mereka minta dibelikan mainan, aku selalu berfikir bahwa harga mainan itu terlalu mahal. Bagiku, mainan anak anak itu paling hanya berumur tiga hari. Hari pertama dimainkan, hari kedua membosankan, dan hari ketiga ditinggalkan. Aku ingin menabung, menghemat gajiku yang pas - pasan, untuk sebuah cita - cita yang tak begitu muluk bagi sebagian orang: punya rumah sendiri. Rumah untuk berteduh aku, istri dan anak anakku.

Cahaya itu telah menyingkap kabut yang menyelimuti akalku.

Kini aku sadar, bahwa dunia anak adalah dunia bermain. Tidak memberi mereka mainan sama saja dengan menghancurkan dunia mereka. Mereka tidak butuh rumah. Tidak peduli rumah kontrakan atau rumah sewaan, yang mereka butuhkan hanyalah tempat berteduh. Untuk bisa hidup dalam dunia mereka, dunia penuh imajinasi dari benda bernama mainan.

Cahaya itu telah merasuk ke dalam hatiku. Begitu hangat hingga mencairkan hatiku yang selama ini membeku. Membeku karena aku tak pernah menghiraukan bisikan bisikan nya yang begitu suci dan fitrah. Membeku karena aku lebih memperturutkan nafsuku- yang, persis seperti hati, juga bisa membisikkan sesuatu.

Maka segera kususuli kalimatku.

"You can have everything you want. But if you can save your money, we can buy a big house someday in the future."

Aku mengucapkan kalimat itu dengan jiwa. Sepenuh jiwa; dengan akal dan hati yang telah diterangi cahaya iman. Aku berbicara dengan bahasa mereka, bahasa imajinasi anak. Sering aku lihat mereka menggambar sebuah castle dan membayangkan hidup menjadi prince dan princess di dalamnya.

Di wal mart, mereka belajar bagaimana caranya belajar bijak dalam mengambil keputusan. Sebuah ilmu yang akan membawa mereka kelak menjadi "orang". Mereka menyaksikan semua mainan impian mereka. Ya. Impian mereka sudah berada di depan mata. Tetapi ada satu impian yang tidak dijual di sana: sebuah rumah yang sangat besar, sebuah castle. The Real Castle.

Akhirnya, mereka pun memilih mainannya masing masing. Bukan yang termahal. Mereka telah berlaku bijak. Mereka ingat janji ayah mereka: kalian boleh membeli apapun yang kalian inginkan hari ini. Tetapi jika kalian bisa berhemat, kalian akan bisa membeli sebuah rumah yang sangat besar kelak ketika kembali ke Indonesia. Mereka ingin kelak suatu saat impian mereka tentang castle itu menjadi kenyataan.

Saat di kasir, aku melihat angka itu: 150 dolar. Sungguh besar kalau hanya untuk mainan yang berusia tiga hari; menurut akal dan hati yang telah diperbudak ambisi duniawi. Apalagi untukku, seorang dosen Universitas Murah Sekali. Tetapi kini, angka itu tidak ada artinya sama sekali bagiku. Sebab itu hanyalah angka yang sejatinya bukan milikku. Itu hanya angka yang Allah titipkan kepadaku. Keangkuhan jiwaku telah membuatku pelit; kepelitan yang hampir saja membunuh anak anakku. Anak yang dipaksa menjalani hidup dewasa sebelum waktunya, yang bisa jadi kelak menjadi kanak - kanak setelah dewasanya.

Malamnya, menjelang sholat terakhir hari itu, anakku Mutia bertanya,

"Daddy, are you sure that we gonna have a big house someday?"

"Yes, absolutely sure." dengan sepenuh jiwa aku menjawabnya.
"But how can we have it?" Rupa rupanya ia ingat bahwa pernah suatu saat ia bertanya berapa gaji ayahnya dan berapa harga sebuah rumah sederhana. Jangankan ia, akupun tak tahu kapan aku akan bisa memilikinya.

Aku menghela nafas panjang. Aku harus menjawabnya dengan sepenuh jiwa.

"It's very simple. Just ask Allah for everything you want. He will make everything you wish come true."

Kuucapkan jawaban itu dengan keyakinan sepenuh jiwa. Bukan aku yang mengarangnya. Allah sendiri yang mengatakannya. Ud'uunii astajib lakum, wasykuruu lii walaa takfuruun. Mintalah kepadaKu, pasti akan Aku kabulkan. Bersyukurlah kepadaku dan jangan kau berlaku kekafiran kepadaKu (Q.S Ghafir (40): 60)

Allah mengabulkan semua permintaan hamba-Nya. Ada yang langsung diberikan di dunia. Ada yang tidak diberikan di dunia sebab Ia tahu bahwa kalau diberikan di dunia, akan membawa keburukan bagi hamba-Nya. Kelak, di akhirat, Allah berikan semua yang telah diminta hamba-Nya. Semuanya. Ya. Semuanya. Hanya satu yang tidak akan dikabulkan-Nya: doa ampunan untuk orang yang meninggal dalam keadaan menyekutukan- Nya.

"But how can we ask Allah, daddy?" anakku melanjutkan pertanyaannya.

"Everytime after you've done your sholat, you can ask Him everything you want. That's the five time sholat for"

"Why didn't you tell me about this before, Daddy? I always hate you when you shout at me to do sholat. Now I will always be happy to do sholat, because I will have a time to make a wish. And Allah will make my wish come true"

Hatiku bergetar. Jantungku berdegup kencang. Mataku berkaca kaca. Sedikit kasih sayang yang kucurahkan kepada anakku sebagai pantulan cahaya iman yang menerangi jiwaku telah memantul kembali berujud cahaya iman yang lebih hebat yang dikirim Allah kepadaku melalui anakku.
Aku diam seribu bahasa.
Lidahku kelu tak bisa berkata apa apa.
Hanya dalam hati aku mampu mengucapkannya:

"Maafkan aku, anakku. Selama ini jiwaku gersang. Akalku kabur. Hatiku beku. Nafsuku telah menipuku. Terima kasih ya Allah, telah Kau berikan secercah cahaya iman atas hamba-Mu yang lemah ini. Telah Kau kirimkan cahaya iman melalui anakku yang masih fitrah suci jiwanya."

Anda ingin juga merasakan cahaya itu? Bacalah Alqur'an, khususnya surat Al Isra' 29-31.
Sengaja tidak saya tulis di sini, dengan satu harapan: semoga cahaya itu lebih terang menerangi jiwa anda. Amin. Jangan lupa, awalilah dengan bismillah dan ta'awudz (a'uudzubillaahi minas-syaithaanirra jiim)

Semoga Allah mengampuni kesalahan yang mungkin timbul pada fikiran, tulisan, perkataan dan perbuatan saya.

Wassalam.

NB: One of morals of the story: Hari ini Allah tampakkan semua impian kita di depan mata. Allah berikan sarana untuk kita meraih semuanya. Kita bisa menggunakan semua sarana itu untuk memiliki semua hal di dunia ini yang selama ini kita impikan. Tetapi gunakanlah sarana tersebut dengan menggunakan akal dan hati, jangan dengan nafsu; agar kita bisa bahagia di dunia ini dan punya sebuah rumah besar di akhirat kelak.


Rois Fatoni
Graduate Student
Department of Chemical Engineering
University of Waterloo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar